Hari dari sekian hari yang paling indah dalam kehidupan gue
adalah ketika gue masih duduk di bangku sekolah madrasah uliyah Mansya'ul Falah Pecanggaan, Jepara. Di sekolah yang kondisinya jauh dari standar itu
gue, Aji, Ihda, Lia, Agus, Nauval dan Fatah belajar agama dan realita
kehidupan. Ditemani oleh guru-guru yang hebat, kami juga belajar kesederhanaan
walupun sebagian dari kami ada yang berasal dari keluarga kaya.
Saat itu kami menjadi saksi betapa rendahnya minat masyarakat
moderen dalam hal ilmu agama dan akhirat. Bayangkan saja untuk kelas satu di
sekolah tersebut hanya ada enam orang siswa yaitu gue, Aji, Lia, Ihda, Agus dan
Nauval. Sementara
Fatah adalah satu-satunya siswa kelas dua yang masih
tersisa. Alasan bagi kami kenapa kami bertahan di sekolah itu?, adalah karena
kami ingin mencari ilmu yang berkah. Sebenarnya kami bisa saja mencari sekolah
agama yang kondisinya jauh lebih baik, tapi banyaknya aliran yang berkembang
dalam islam membuat kami harus memilih madrasah Mansya’ul Falah sebagai tempat
belajar agama kami.
Di tengah keadaan yang memprihatinkan, kami bertujuh
seperti Laskar Pelangi yang pantang menyerah. Kami tetap semangat belajar
karena kami ditemani oleh guru-guru yang menyenagkan. Tidak jarang ketika Fatah
ada jam kosong dia ikut bergabung di kelas satu dan kami bersama-sama
mengkaji pelajaran kelas satu. Tanpa memperdulikan
status sosial, kami bersahabat dengan baik. Tidak ada perselisihan di antara
kami karena kami saling membutuhkan satu sama lain.
Sedikit bercerita, gue masih
ingat betul bagaimana memukaunya Bpk. Ainun Najib dan Bpk. KH. Ni’am ketika membaca
kitab salafi, dan gue juga masih terbayang betapa cerdasnya Bpk. KH. Syaifudin ketika menjawab pertanyaan
yang kami lontarkan kepada beliau. Salah satu kalimat yang masih gue ingat dari mereka adalah
“ supaya hati kita mudah menerima nasihat yang baik, kita harus sesering
mungkin membaca kalimat toyyibah”.
Sekarang Laskar Pelangi Mansya’ul
Falah hanya tersisa empat orang. Gue, Aji, dan Fatah harus terpaksa berpisah
dengan teman-teman. Aji meneruskan pendidikannya di Universitas Negri Semarang,
Fatah melanjutkan S1 di Yogyakarta, sementara gue juga sibuk mengurusi proyek Kepela
Sekolah gue di MA. Matholi’ul Huda Troso, Jepara. Bukan keputusan yang mudah bagi gue,
Aji, dan Fatah mengambil jalan tersebut, tapi kami benar-benar harus pergi. Terkadang
gue menagis ketika teringat kisah bersama mereka, jika ada yang bertanya “kenapa
gadis kecil menangis?” gue hanya menjawab “ in this world I just want a party that does not expire, but the party has not
started we've had
to part, but look at all back to normal it's more fun "
Satu harapan gue untuk Mansaya’ul Falah adalah suatu saat gue bisa membawa kenagan ini ke tempat
lain. Ke negara yang tanahnya tidak berwarna coklat, ke daerah yang hembusan
anginya berbeda, dan menceritakan Mansaya’ul Falah pada orang asing. Agar dunia
juga tahu bahwa untuk menjadi orang besar tidak harus berda di tempat yang
besar, tapi bagaimana cara kita untuk memberi kebaikan kepada apa yang ada di
sekitar kita. So, my Lord Almighty, thanks for
your blessing, and help me to make my dream come true. Aamiinn aamiinn aamiinn.
Saya turut mendoakan yang terbaik untuk semua pihak... :)
BalasHapusterima kasih ya . . . . :)
Hapusgilee... terus g ada adek kelas yang meneruskan madrasah itu?
BalasHapussampai sekarang masih ada yang meneruskan dan bersedia sekolah di madrasah tersebut, tapi posisi kelas tiga yang seharusnya di isi fatah setelah kenaikan kelas kosong . . . . hemmzzz menyedihkan :)
Hapus